Sukses

Eropa di Ambang Resesi Besar Jika Rusia-Ukraina Berperang

Kementerian Luar Negeri Eropa memperingatkan jika mereka akan memperketat sanksi jika Rusia tidak menarik kembali pasukannya.

Liputan6.com, London - Ketegangan antara Ukraina dan Rusia yang membuka pintu peperangan dipastikan akan mengancam terjadinya guncangan keuangan yang bisa mendorong negara-negara di Eropa masuk dalam jurang resesi yang lebih dalam.

Tanda-tanda ini sudah terlihat dari imbal hasil (yield) obligasi Jerman yang anjlok ke rekor terendah. Hal serupa terjadi pada pasar saham di seluruh dunia.

Yield obligasi Jerman terjerembab 0,97 persen setelah pemerintah Ukraina mengaku telah mengirimkan artileri guna menghancurkan konvoi lapis baja tentara Rusia di perbatasan Donbass.

Tercatat, imbal hasil selama dua tahun berbalik tajam negatif, menyiratkan bahwa investor besar Jerman meminta negaranya untuk menjaga uang mereka.

Kepala NATO Anders Fogh Rasmussen mengatakan krisis telah mencapai titik bahaya, tanpa menyebutnya sebagai invasi. "Saya dapat mengkonfirmasikan bahwa tadi malam kami melihat serangan Rusia, melintasi perbatasan Ukraina," kata dia seperti mengutip laman Telegraph.co.uk, Sabtu (16/8/2014).

Kementerian Luar Negeri Eropa memperingatkan jika mereka akan memperketat sanksi jika Rusia tidak menarik kembali pasukannya.

"Setiap tindakan militer sepihak Federasi Rusia di Ukraina dengan berbagai dalih, termasuk kemanusiaan, akan dipertimbangkan oleh Uni Eropa sebagai pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional," tegas lembaga tersebut.

Indeks DAX ekuitas di Frankfurt melemah di menit terakhir sebelum pasar ditutup, turun 1,4 persen sejak awal Juli.

Sementara imbal hasil 10 tahun US Treasuries turun ke posisi terendah dalam empat belas bulan sebesar 2,33 persen. Di sisi lain, pasar saham DOW susut 114 poin pada awal perdagangan, dengan penurunan besar terjadi pada saham perusahaan-perusahaan Rusia yang terdaftar di New York.

Kementerian Luar Negeri Rusia  langsung bereaksi dengan menuduh Ukraina berusaha untuk memblokir masuknya konvoi bantuan kemanusiaan, dan mereka menyebutnya sebagai langkah provokasi.

Maklum, beberapa jam sebelumnya Presiden Rusia Vladimir Putin telah memberikan pidato sebagai upaya berdamai dan mencari jalan keluar.

"Negara ini telah jatuh ke dalam kekacauan berdarah, konflik perang saudara, bencana kemanusiaan telah memukul Ukraina selatan-timur. Kami akan melakukan semua yang kami bisa untuk menghentikan konflik ini sesegera mungkin dan mengakhiri pertumpahan darah di Ukraina, " katanya.

Jika perang benar-benar terjadi di Ukraina maka Eropa yang akan terkena imbasnya. Perekonomian Eropa, berada di ambang resesi kembali dengan serangkaian utang dan deflasi menghantui negara-negara selatan.

Seperti Italia yang telah terjerembab masuk dalam resesi triple-dip, demikian pula yang berlangsungn di Jerman . Marcel Fratzscher, Kepala German Economic Research Institute (DIW) memperingatkan adanya resesi teknis setelah manufaktur di seluruh zona euro jatuh 10,4 persen.

Gabriel Sterne dari Oxford Economics memperingatkan bahwa konflik besar-besaran di Ukraina Timur bisa memangkas PDB zona euro selama dua tahun ke depan melalui kerusakan perdagangan dan saluran keuangan, dengan kontraksi pada 2015. "Pasar telah terlalu optimis tentang krisis secara keseluruhan," katanya.

Stern mengatakan ekonomi Ukraina kemungkinan akan menyusut 8 persen tahun ini. Bahkan, dia memperingatkan bahwa ada kemungkinan default pada utang luar negeri negara itu hingga 50 persen, karena sebagian berutang kepada lembaga keuangan dan bank di Rusia.

Ini akan mengirim kejutan melalui sistem keuangan Eropa, dan seterusnya. Franklin Templeton, kelompok aset global, yang mengadakan US$ 7,3 miliar  obligasi Ukraina pada akhir tahun 2013, bersikeras bahwa negara itu dalam "sweet spot" dan akan memelihara hubungan baik dengan Rusia.

Hryvnia Ukraina telah jatuh 40 persen sejak Januari, sehingga lebih sulit bagi pemerintah dan perusahaan Ukraina untuk menutupi utang mata uang asing dari US$ 145 miliar.

Ukraina telah mendapatkan penyelamatan dari Dana Moneter Internasional hingga US$ 18 miliar tapi ini mungkin terlalu sedikit jika krisis mendalam kembali terjadi.

Chris Weafer, Penasehat Ekonomi Makro Moskow mengatakan ekonomi Rusia secara efektif dibekukan akibat sanksi. Negara ini menghadapi ancaman penurunan harga minyak menjadi US$ 102, dari sebelumnya US$ 115 awal tahun ini. "Kalau turun kembali di bawah US$ 100, Rusia akan datang di bawah tekanan serius," jelas dia.

Kenaikan tingkat bunga yang dilakukan Bank Sentral berimbas pada macetnya kredit dari perusahaan kecil dan menyebabkan penurunan penjualan mobil pada bulan Juli di negara ini hingga 23 persen.

"Semuanya diperketat. Penularan dari sanksi yang menyebabkan AS dan bank-bank Eropa menghindari risiko jika berhubungan dengan Rusia. Tidak ada perusahaan Rusia mampu mengambil pinjaman apapun dalam mata uang dolar, euro, yen, atau sterling pada bulan Juli, "katanya.

Sebagai contoh Lukoil yang sebelumnya bisa mendapatkan pinjaman US$ 1,5 miliar dari Citigroup dan JP Morgan, adapula Evraz senilai US$ 500 juta, kini harus menelan pil pahit karena pembatalan pinjaman.

Bahkan perusahaan minyak raksasa Rusia Rosneft telah meminta dukungan dana US$ 40 miliar dari negara untuk memenuhi sekelompok pencairan utang luar negeri selama beberapa bulan ke depan.

"Rosneft tidak membutuhkan uang sekarang, tapi mereka mencoba untuk mendapatkan dana untuk berjaga-jaga. Jika sanksi ini berlangsung sampai awal tahun depan ada akan menjadi banyak perusahaan antri meminta uang," katanya. (Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.