Sukses

Menhan AS: Kami Siap Bantu RI di Laut China Selatan dan Natuna

Menteri Pertahanan Amerika Serikat Jim Mattis menyatakan bahwa Washington DC siap bantu RI di Laut China Selatan dan Laut Natuna.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis menyatakan bahwa Washington siap berkomitmen untuk membantu Indonesia seputar isu kawasan Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara.

Hal itu diutarakan oleh Mattis dalam konferensi pers gabungan bersama Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu, usai keduanya melakukan dialog bilateral di Gedung Kemhan RI, di Jakarta, 23 Januari 2018.

"Amerika Serikat siap membantu Indonesia untuk mempertahankan kewaspadaan domain maritim di Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara," kata Menhan Mattis di pada Selasa, (23/1/2018).

"Hal itu yang akan kita tindak lanjuti. Kami (Mattis dan Ryamizard) pikir, kami harus melakukannya dengan bekerja sama," tambahnya.

Mattis juga mengatakan bahwa Indonesia memiliki peranan penting di kawasan laut yang belakangan ini menimbulkan polemik dan persengketaan, yang melibatkan China, sejumlah negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, serta Amerika Serikat -- di mana Amerika Serikat berbeda kawasan, tetapi tampak memiliki agenda kepentingan politik di kawasan tersebut, sebagai bagian dari konsep 'Indo-Pasifik' yang diutarakan Presiden Donald Trump.

"Jelas bahwa peran Indonesia di kawasan itu sangat penting," kata Mattis.

"Kita (AS) akan terus bekerja sama dengan kalian (Indonesia) untuk menjamin keamanan, kesejahteraan ... kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum internasional, serta menjamin prinsip kebebasan bernavigasi (di kawasan maritim). Semua itu penting bagi semua negara," tambah pensiunan Jenderal Marinir AS itu.

Mattis juga menggarisbawahi signifikansi peran ASEAN -- di mana Indonesia merupakan salah satu negara motor penggerak organisasi tersebut -- dalam menjamin dan mempertahankan keamanan di kawasan maritim tersebut.

Namun dalam konferensi pers, sang Menhan AS itu tidak menjelaskan secara detail mengenai bentuk partisipasi dan bantuan seperti apa yang akan diberikan oleh Washington DC terhadap Indonesia terkait isu Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara.

Kendati demikian, Mattis menegaskan bahwa ia dan Ryamizard siap berkomitmen untuk memandang isu kawasan maritim itu secara damai. Keduanya juga berkomitmen untuk mempertahankan perdamaian di kawasan maritim tersebut.

"AS dan Indonesia sama-sama melihat kawasan maritim tersebut sebagai kawasan damai. Dan kami ingin mempertahankannya agar tetap dalam kondisi yang damai, supaya mampu memberikan kesejahteraan bagi negara-negara di sekitarnya, terlepas dari ukuran negara-negara tersebut," kata Mattis.

Selain itu, dalam kesempatan yang sama, Mattis juga menegaskan bahwa Amerika Serikat siap membantu visi Presiden RI Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia.

"Kami akan membantu Presiden Joko Widodo terkait visi itu. Kami melihat visi itu sebagai visi yang sehat dan sangat penting untuk menjamin perdamaian di kawasan maritim sekitar," papar pria yang kerap disematkan julukan 'The Mad Dog' oleh berbagai media Barat itu.

"AS - Indonesia ingin menjamin perdamaian dengan benar-benar melakukannya, tak hanya sekadar kata-kata semata," tegas Mattis.

Dalam kesempatan yang sama, Menhan Ryamizard sendiri menjelaskan bahwa pembahasan seputar isu Laut China Selatan sudah jauh lebih kondusif ketimbang kurun waktu sebelumnya.

"AS, Indonesia, ASEAN sudah banyak berdialog seputar isu Laut China Selatan dalam KTT ASEAN di Manila, November 2017 lalu," paparnya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

AS - Tiongkok Saling Kritik Soal Laut China Selatan

Komentar Mattis muncul usai berbagai komentar dari pemerintahan dan militer AS yang memandang Tiongkok sebagai entitas yang presensi serta hegemoninya sangat 'mengganggu' di kawasan Laut China Selatan.

Pentagon sendiri telah berkomitmen untuk memfokuskan prioritas kebijakannya untuk menghadapi "persaingan kekuatan besar" dengan China -- dan Rusia. Hal tersebut juga tercantum dalam dokumen Strategi Pertahanan Nasional Kemhan AS yang dirilis beberapa pekan lalu.

Laporan dari Kemhan Amerika Serikat itu juga mengatakan bahwa Tiongkok menggunakan "ekonomi predator" untuk mengintimidasi negara-negara tetangganya, sembari membangun instalasi militer di Laut China Selatan.

Sementara itu, beberapa pekan lalu, Penasihat Senior untuk Menteri Luar Negeri Amerika Serikat menyebut bahwa Tiongkok telah melakukan militerisasi yang provokatif di kawasan sengketa Laut China Selatan.

Sang penasihat, Brian Hook juga mengatakan, AS akan terus mendorong prinsip kebebasan navigasi (freedom of navigation) di kawasan. Salah satu cara yang akan dilakukan Washington adalah dengan 'terus mengirim kapal patroli ke wilayah tersebut'.

"Militerisasi yang provokatif yang dilakukan oleh Tiongkok di Laut China Selatan adalah salah satu contoh bahwa mereka tengah berusaha untuk menggoyah hukum internasional," kata Brian Hook, Penasihat Senior untuk Menlu AS, seperti dikutip dari transkrip telephonic briefing US State Department Asia-Pacific Media Hub, yang diperoleh Liputan6.com pada Rabu 10 Januari 2018.

"Kami akan terus mendorong operasi prinsip kebebasan navigasi, dan membiarkan mereka (China) tahu bahwa kami akan berlayar, terbang, dan beroperasi di mana pun hukum internasional mengizinkan," tambahnya.

Seperti dikutip dari Newsweek, sejak kurun waktu terakhir, China dilaporkan telah dan terus membangun bangunan yang difungsikan untuk kepentingan militer di kawasan laut yang menjadi sengketa bagi para negara di sekitarnya.

Desember lalu, citra satelit yang diperoleh oleh Australian Maritime Transparency Initiative yang berbasis di Washington menunjukkan bahwa China telah membangun sebuah radar dengan frekuensi tinggi di kawasan reklamasi terumbu karang Fiery Cross dan depot amunisi di kawasan reklamasi terumbu karang Subi.

Merespons segala bentuk pembangunan militerisasi tersebut, Brian Hook mengatakan bahwa Amerika Serikat akan mengambil tindakan.

"Kami melihat bahwa China tak mampu bersikap selaras dengan keteraturan yang berbasis nilai dan peraturan. Jika China telah bertindak melewati batas keteraturan tersebut, Amerika Serikat akan bertindak demi mempertahankan hukum," kata Hook.

 

3 dari 4 halaman

Klaim Sepihak Tiongkok

Tahun lalu, Tiongkok mengklaim bahwa mereka memiliki hak kedaulatan yang tak terbantahkan atas kawasan Laut China Selatan dan pulau-pulau yang ada di dalamnya.

Tiongkok melandasi klaim kedaulatan sepihak itu dengan menggunakan konsep demarkasi semu 'the nine-dash line' atau sembilan garis putus, mencakup seluruh kawasan gugus kepulauan Spratly, Paracel, Pratas, Macclesfield Bank, dan Scarborough Shoal -- secara akumulatif membentuk seluruh kawasan Laut China Selatan.

Namun, klaim tersebut ditentang oleh banyak negara, meliputi, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, Indonesia, termasuk Amerika Serikat -- meski berada jauh dan berbeda kawasan.

Kritik AS berfokus pada pembangunan fasilitas militer China di pulau serta daratan reklamasi di kawasan. Washington juga menyebut, infrastruktur itu akan membatasi juga membahayakan navigasi perairan internasional.

Beijing telah berulang kali memperingatkan AS agar menahan diri dan tidak terlibat dalam perselisihan tersebut. Negeri Tirai Bambu juga mengklaim bahwa kebebasan patroli navigasi -- seperti yang hendak direncanakan AS -- merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan China.

"Kami mendesak Amerika Serikat untuk menghormati fakta serta berbicara dan bertindak hati-hati agar tidak membahayakan perdamaian dan stabilitas Laut China Selatan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying kepada wartawan.

"Tindakan kami di Laut Cina Selatan masuk akal dan adil. Tidak peduli apa yang terjadi di negara lain, apa yang mereka katakan, atau apa yang ingin mereka lakukan, tekad China untuk melindungi kedaulatan dan hak maritimnya di Laut Cina Selatan tidak akan berubah," tegasnya.

 

4 dari 4 halaman

Indonesia Dorong Negosiasi Damai soal Sengketa Laut China Selatan

Indonesia percaya bahwa isu Laut China Selatan harus dikelola dengan cara damai dan kooperasi dengan para pihak yang terlibat demi mitigasi tensi," kata Wakil Menteri Luar Negeri RI, AM Fachir saat menyampaikan pidato pembuka untuk The 27th Workshop on Managing Potential Conflicts in the South China Sea di Jakarta, November 2017 silam.

Hadir dalam forum tersebut adalah delegasi, perwakilan, dan komunitas akademik dari negara yang terlibat dalam isu sengketa Laut China Selatan, seperti Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam serta negara anggota ASEAN lain.

Forum tahunan rutin itu dilaksanakan beberapa hari usai kesepakatan ASEAN - China untuk memulai dialog Code of Conduct on South China Sea (CoC-SCS) dalam KTT ASEAN 2017 di Manila 13 - 14 November 2017.

'Aturan main' itu dianggap ASEAN sebagai salah satu langkah untuk mengakhiri sengketa kawasan maritim yang telah terjadi selama puluhan tahun.

"Indonesia secara aktif mengelola isu Laut China Selatan melalui berbagai kesempatan, termasuk forum ini. Indonesia berharap, acara ini dapat menjadi ajang untuk berbagi saling pengertian antarsesama negara demi mengelola potensi konflik yang mungkin terjadi," tambah Fachir.

Wamenlu RI AM Fachir mengatakan, Indonesia, melalui mekanisme ASEAN, telah menyusun rancangan awal naskah Code of Conduct on South China Sea (CoC-SCS) ke berbagai negara yang terlibat dalam isu sengketa Laut China Selatan (LCS).

"Kita sudah menampilkan zero draft terlebih dulu, yang berisi beberapa hal yang mungkin bisa disepakai para pihak. Untuk target kapan selesai, agak susah. Tapi, harapan kita lebih cepat lebih bagus," kata Fachir.

Sementara itu, melengkapi pernyataan AM Fachir, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kemlu RI Siswo Pramono, mengatakan, "Tahap (CoC-SCS) sekarang sudah sampai kerangka rancangan. Kalau dulu kan cuma ada garis besar. Sekarang, kita tinggal isi aja kerangka rancangan tersebut."

Siswo melanjutkan, pembahasan 'aturan main' tersebut masih memiliki banyak kendala karena, 'masing-masing negara (yang terlibat dalam sengketa LCS) punya kepentingan nasional yang berbeda-beda.'

"Tapi semua bisa dinegosiasikan dan dibicarakan secara politik," tambah Siswo.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.