Sukses

Tradisi &quotShaolin" di Jatinangor

SCTV mendapatkan rekaman gambar penyiksaan yang kerap dilakukan praja senior terhadap junior di STPDN. Para junior itu dipukul dan ditendang. Mengeranglah mereka kesakitan.

Liputan6.com, Jakarta: Anak muda itu kayang, tubuh menghadap langit, kepala mendongak, tenaga bertumpu pada kedua tangan dan kaki. Ini bukan atraksi sirkus atau debus. Sebab, sekonyong-konyong, perut anak muda itu ditumbuk dengan kepalan tangan atau siku berkekuatan penuh ala Johnny B. Badd dalam tayangan gulat World Wrestling Federation (WWF). Si penghantam adalah "atasan" atau senior si anak muda tersebut, yang tak lain mahasiswa (praja) junior Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri, Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat. Seketika, dibalut ketakutan dan kepasrahan, anak muda itu tumbang sembari mengerang kesakitan. "Arkh..."

Peristiwa itu terjadi pada akhir Juni 2003, sebagai jalan bagi praja untuk mendapatkan lencana drumband. Satu dari sekian rekaman adegan yang didapat secara eksklusif oleh SCTV itu bak kartu as bahwa kekerasan memang mewarnai kampus calon pamong tersebut. Saat rekaman diputar, terdengar seseorang mahasiswa senior berkata, "Ini barang bukti, lo, ketahuan Depdagri bisa mampus." Rupanya, pemukulan, juga tendangan ala kungfu shaolin menjadi santapan praja junior. Inilah pembinaan. Begitu pihak STPDN menyebut aksi yang lebih tepat disebut penyiksaan.

Ironis, memang. Sebuah kampus yang katanya sebagai kawah candradimuka calon pemimpin bangsa, kegiatan sampingannya menerapkan kekerasan yang jauh dari kata manusiawi. Bayangkanlah puluhan anak muda yang bercita-cita menjadi camat atau bupati bahkan gubernur, baris berbanjar. Satu persatu dada mereka dipukul dan ditendang senior, yang tak jarang sambil berteriak seperti Jet Li. Mirip sebuah kamp penyiksaan melihatnya. Dari sekian rangkaian "pembinaan", sebuah kabar kelam pun melayang pada awal September silam: Wahyu Hidayat, seorang praja tingkat II tewas setelah dianiaya senior. Tiga tahun sebelumnya, Ery Rahman musti mengembuskan napas terakhir setelah diperlakukan serupa [baca: Murka di Kampus STPDN].

Menanggapi tragedi itu, Ketua STPDN Sutrisno membantah terjadi kekerasan di kampus yang dia pimpin. Dia juga menegaskan tak ada unsur militerisasi di STPDN. Andai dikatakan STPDN melakukan pembinaan disiplin memang benar. Pasalnya, dia menambahkan, di samping pengajaran, pelatihan, dan pengasuhan, STPDN juga memberi pembinaan kedisiplinan. "Jadi, ini bukan meniru militerisasi," ujar Sutrisno.

Di tengah pengusutan kematian Wahyu, sebetulnya, masih ada ketidakjelasan menyangkut sebab musabab kematian Ery. Yang terjadi, ribuan praja angkatan 1996-1998 sempat mendesak pimpinan STPDN melepaskan tujuh mahasiswa yang dituding menganiaya Ery. Dalam unjuk rasa tersebut, mereka menekankan bahwa hukuman fisik kepada Ery bukanlah penganiayaan, tapi semata-mata untuk menegakkan disiplin praja junior secara internal. Kalau mau jujur, kasus Ery dan Wahyu belum termasuk kasus penganiayaan lain yang tak mencuat. Boleh jadi ini disebabkan korban takut melapor [baca: Wahyu Hidayat Bukan Korban Pertama].

Sejauh ini, buntut dari kematian Wahyu, Ketua STPDN Drs Sutrisno memecat tidak hormat tiga praja tingkat III. Pihak kampus juga menurunkan tingkat 13 mahasiswa lainnya, dari III menjadi tingkat II dan mewajibkan mereka mengulang kuliah dua semester. Enam mahasiswa lainnya juga diturunkan nilai moralnya dari 7,20 menjadi 6,50. Ada juga empat mahasiswa yang diturunkan nilai moralnya dari 7,20 menjadi 6,75. Jika selama jangka waktu yang ditentukan itu kesepuluh mahasiswa tersebut tak memenuhi nilai minimal 7,20 maka mereka tak akan naik tingkat [baca: Tiga Mahasiswa STPDN Diberhentikan].

Aparat Kepolisian Resor Sumedang juga langsung memeriksa 26 praja STPDN dan menetapkan tiga di antaranya sebagai tersangka kasus penganiayaan Wahyu. Belakangan, enam praja lain juga ditetapkan sebagai tersangka. Menurut ahli forensik dari Universitas Indonesia Dr Mun`im Idris, Wahyu memang tewas dianiaya. "Mulut dan dadanya memar," kata dia.

Ayahanda wahyu, Syarif Hidayatullah, yang dihubungi reporter SCTV Rossiana Silalahi, mengaku terkejut menyaksikan rekaman gambar pembinaan di STPDN. Terngiang oleh Syarif kata terakhir yang diucapkan anaknya sebelum kembali ke kampus, usai liburan di kampung. "Dia bilang mau pulang ke kandang macan," kata Syarif.

Menurut Aryo Fenggidae, mantan praja STPDN, penganiayaan tersebut sudah menjadi tradisi di STPDN sejak angkatan pertama hingga 15. "Kalau kumpul kontingen lebih sadis lagi dari yang tadi," kata Aryo. Kumpul kontingen adalah tradisi di STPDN yang mengumpulkan praja junior dalam keadaan bertelanjang dada untuk dipukuli praja senior. Kegiatan ini digelar sepekan sekali atau lebih tergantung dari kesalahan menurut pandangan senior, mulai jam 00.00 WIB atau 01.00 WIB dan baru berakhir pukul 03.00 WIB [baca: "Nama STPDN Rusak di Mana-Mana..."].

Aryo menambahkan, para dosen dan pengasuh bukannya menutup mata atas kejadian itu. Cuma, jumlah mereka yang sedikit ditambah tugas yang banyak membuat para dosen kurang memperhatikan. "Jadi pembinaan dibiarkan oleh senior," kata Aryo. Aryo juga mengatakan pernah pula para junior berniat melawan. Namun, pada akhirnya niat itu diurungkan. Jumlah yang kalah banyak dengan senior membuat mereka berpikir dua kali. "Akhirnya, ya, melampiaskan ke junior nantinya," Aryo menambahkan.

Boleh jadi, kenyataan di STPDN membuat para orang tua berpikir seribu kali untuk menyekolahkan anak mereka di sana. Alih-alih menjadi pemimpin, bisa saja anak mereka mati konyol disiksa. Maj, seorang penelepon, mengatakan bahwa dirinya pernah mengurus adiknya yang sekolah di STPDN. Menurut dia, sang adik kabur dari STPDN hingga tiga kali karena tak tahan dianiaya senior. Terakhir kali, adik Maj kabur hingga ke Lampung. Cuma, setiap kali Maj menemukan sang adik, dia mengembalikannya ke kampus. "Supaya nggak diapa-apa-in, kita keluarkan uang lebih," kata Maj. Rupanya, kekerasan di STPDN melahirkan praktik penyuapan.

"Kami memberikan uang kepada oknum pengawas untuk dibagi-bagilah supaya adik kami tidak diganggu-ganggu, tidak disiksa. Ini inisiatif kami," kata Maj. Aryo juga mengaku pernah mendengar praktik penyuapan itu. "Cuma, yang nggak mukul itu, ya, senior yang menerima uang. Yang nggak nerima, ya, tetap mukul. Makanya harus semua dapat," kata Aryo.

Pembantu Ketua IV STPDN Inu Kencana yang juga dihubungi lewat telepon mengatakan, penyiksaan berkedok pembinaan ini sudah berlangsung sejak angkatan ke-3 [baca: Inu Kencana: Andai STPDN Belajar dari Pengalaman]. Sementara I Nyoman Sumaryadi, anggota Tim Depdagri yang khusus mengevaluasi kasus STPDN mengatakan, Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno mengakui bahwa tindakan praja senior itu di luar tata tertib STPDN. Ada delapan langkah yang akan dilakukan Depdagri untuk mengusut kasus ini. Mendagri juga akan membenahi sistem pendidikan STPDN menyangkut hubungan kurikulum dan perilaku praja. "Secara keseluruhan, tak semua peristiwa itu diketahui menteri dan staf di Jakarta. Setelah [tayangan] ini, saya yakin, mungkin akan ada keputusan," kata Nyoman.

Boleh-boleh saja Nyoman merasa yakin. Tapi, lepas dari hal itu, poling yang diselenggarakan SCTV selama dua jam--bertepatan dengan tayangan eksklusif rekaman kekerasan di STPDN--menggambarkan bahwa sebanyak 93 persen atau sekitar 23.388 responden setuju STPDN dibubarkan, enam persen tidak setuju, dan satu persen tidak tahu. Jumlah keseluruhan responden adalah 25.149 pengirim pesan pendek (sms). Boleh jadi poling ini adalah suara hati masyarakat yang menginginkan pendidikan--apapun nama kampusnya--tidak diwarnai kekerasan. Sebab, seperti pernah dikemukakan filsuf dan pakar pendidikan kelahiran Brasil Paulo Freire, mereka yang biasa tertindas umumnya akan menjadi penindas bila berkuasa.(SID/Tim Liputan 6 SCTV)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini