Sukses

Lumbung Hitam KPU yang Menjerat

Penahanan Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin menjadi klimaks dari dugaan korupsi ramai-ramai di lembaga yang dipimpinnya. Bukan mustahil kasus ini akan menyeret nama-nama lain yang menerima dana gelap rekanan.

Liputan6.com, Jakarta: Skandal korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) kian seru. Celoteh Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin tentang dana gelap sebesar Rp 20 miliar mulai menjerat lapis atas lembaga ini. Dari &quotnyanyian&quot Hamdani itulah, Ketua KPU Nazaruddin Sjamsuddin ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan harus masuk tahanan. Sementara ini, ia menjadi tahanan titipan KPK di Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya [baca: Nazaruddin Sjamsuddin Menjadi Tersangka].

Jumat 20 Mei 2005, sepertinya menjadi jumatan terakhir Nazaruddin bersama karyawan KPU. Ini karena malam harinya, Nazaruddin ditahan KPK atas tuduhan melakukan korupsi. Inilah klimaks dari dugaan korupsi &quotberjamaah&quot di lembaga yang dipimpinnya. &quotMaka pimpinan KPK memerintahkan kepada penyidik agar yang bersangkutan [Nazaruddin] diperiksa sebagai tersangka,&quot tandas Wakil Ketua KPK Tumpak H. Panggabean.

Penahanan Ketua Nazaruddin bermula dari kesaksian dan setumpuk data yang diperoleh KPK dari anak buah Nazaruddin yang lebih dulu ditahan. Adalah seorang Hamdani yang membeberkan kebobrokan pejabat lembaga penyelenggara pemilihan umum ini. Tumpak menjelaskan, yang bersangkutan diduga melakukan suatu perbuatan tindak pidana korupsi, yakni yang berhubungan dengan penerimaan sejumlah uang dari rekanan KPU. &quotTindak pidana korupsi ini di luar tindak pidana korupsi terdahulu,&quot tambah Tumpak.

Tak hanya menohok bosnya sendiri, nyanyian dan data Hamdani juga membuka informasi lebih jauh tentang lumbung gelap KPU secara detail. Menurut Abidin, kuasa hukum Hamdani, kliennya tidak pernah meminta atau melakukan deal-deal dengan perusahaan rekanan KPU. Hamdani hanya menjalankan perintah ketua KPU untuk menerima dan mencatat uang sumbangan dari rekanan tersebut. &quotHanya itu yang diperintahkan oleh ketua [Nazaruddin],&quot jelas Abidin.

Pengalamannya bertahun-tahun sebagai bendahara, sepertinya melatih Hamdani tertib membuat pembukuan. Tapi justru kerapian itulah yang membawa diri dan bosnya masuk perkara ini. Dari berita acara pemeriksaan (BAP) Hamdani yang sempat dibaca Tim Sigi, tampak bahwa pemakaian dana gelap rekanan KPU itu dia catat dalam sebuah buku kecil berwarna biru.

Di sampul buku itu tertera tulisan Buku Pintar Dana Taktis-Ekstra Budgeter. Di dalam buku tersebut tercatat nama-nama rekanan yang turut &quotmengisi&quot lumbung dana gelap KPU yang diistilahkan Hamdani sebagai dana taktis. Hamdani menulis dana taktis pertama datang dari rekanan pengadaan mobil operasional KPU. Penyumbangnya tertulis PT Astra International Tbk. Perusahaan ini menyumbang dana sebesar Rp 2,33 miliar yang disetor dalam dua tahap. Pertama bulan Desember 2003 dan kedua pada Januari 2004.

Masih pada bulan Januari, Hamdani juga mencatat setoran rekanan pengadaan teknologi informasi senilai US$ 159 ribu. Pada bulan yang sama, Hamdani juga menerima traveller`s cheque Bank Negara Indonesia dan Bank Mandiri dari seorang staf PT Pos Indonesia cabang Bandung, Jawa Barat. Jumlahnya mencapai Rp 630 juta. Bulan berikutnya, yakni Februari 2004, Hamdani mencatat masuknya uang Rp 100 juta dari Bambang Budiarto, kepala Biro Umum KPU terkait pencetakan formulir pemilu.

April 2004, Hamdani mencatat setoran senilai US$ 121 ribu dari PT Kertas Leces, Probolinggo, Jawa Timur. Perusahaan ini menjadi rekanan KPU untuk pengadaan kertas pemilu. Rekanan lain yang tercatat di buku pintar Hamdani adalah PT Indologis. Perusahaan itu menyetor Rp 500 juta pada Juli 2004. Catatannya untuk angkutan distribusi logistik. PT Metro Pos, rekanan pencetakan surat suara pada Pemilu Presiden, juga turut menyumbang Rp 230 juta pada Oktober 2004.

Belum semua perusahaan yang diduga menyetor dana gelap KPU itu terkonfirmasi. Namun sejumlah perusahaan yang dikunjungi Tim Sigi membantah penyetoran dana tersebut. Ada pula yang menolak untuk diwawancara. Di antaranya PT Integrasi dan PT Astra. &quotNggak ada. Kita nggak memberikan apa-apa,&quot jawab perwakilan PT Integrasi ketika dikonfirmasi Tim Sigi melalui telepon selular.

Demikian juga dengan rekanan besar KPU lainnya. PT Pura Group mengaku tak pernah dimintai uang apa pun oleh orang KPU. &quotTidak ada permintaan dari oknum [KPU]. Sama sekali tidak ada,&quot jelas orang PT Pura.

Sejumlah rekanan yang disebut Hamdani ikut andil dalam menumpuk pundi-pundi dana gelap KPU juga telah dimintai keterangan oleh Tim Penyidik Kejaksaan Agung. PT Metro Pos, misalnya. Namun mereka enggan berkomentar seusai pemeriksaan. &quotUdah ya, gak ada. Itu kan hanya proses tender, titik,&quot bantah Iwan selaku Dewan Karyawan PT Metro Pos.

Dari catatan buku pintarnya, Hamdani mengaku hanya mengelola dana &quotharam&quot senilai Rp 20 miliar. Tapi penyidikan Tim Sigi menunjukkan dana gelap yang masuk ke lumbung gelap KPU justru lebih besar. Dokumen audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan saja jelas-jelas menyebut adanya setoran senilai Rp 4,5 miliar dari PT Survindo Indah Prestasi (PT SIP). Rekanan KPU itu adalah pemenang tender pembuatan kotak suara pemilu senilai Rp 311 miliar, tapi pada akhirnya gagal menyelesaikan proyeknya. Memo PT SIP ini misalnya membuktikan bahwa sejak November 2003 atau sebelum proses tender kotak suara dimulai, telah menyetor uang sukses ke KPU.

Penelusuran Tim Sigi di lapangan mendapati bukti bahwa pemilik 100 persen saham PT SIP adalah PT Surveyor Indonesia. Tapi melalui sekretaris perusahaannya, Ibrahim Gouse, PT Surveyor Indonesia (PT SI) tidak mengetahui soal dana-dana yang kini diributkan itu. PT SI justru merasa dirugikan dengan adanya kasus tersebut. &quotPT SI (Surveyor Indonesia) tidak mengetahui sama sekali mengenai proses aliran dana dari SIP ke KPU,&quot jelas Ibrahim.

Temuan lainnya adalah soal Kantor PT SIP yang tidak jelas keberadaannya. Selama di Gedung Surveyor Indonesia, Jalan Raya Buncit, Jakarta Selatan, kantor perusahaan yang lebih dikenal sebagai penyedia jasa transportasi dan alat tulis itu kerap berpindah-pindah lantai.

Dana gelap senilai Rp 20 miliar bisa jadi hanya bagian kecil dari banyak dana lain yang masuk ke lumbung hitam KPU. Ini sangat mungkin melihat audit investigasi BPK saja mendapati indikasi korupsi sebesar Rp 90 miliar untuk lima proyek logistik pemilu. Padahal di luar itu masih ada 10 proyek KPU lainnya yang belum diaudit.

Laksana air yang mengalir sampai jauh, cerita panjang tentang dana gelap KPU senilai Rp 20 miliar lebih terus mengalir ke segala arah. Selain menyeret pejabat di KPU, dana siluman itu diduga telah masuk ke sejumlah pejabat di lembaga tinggi negara, seperti auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR dan pejabat di Departemen Keuangan.

Dari nyanyian Hamdani jugalah lantas terungkap detail nama-nama penerima &quotdana taktis&quot, istilah keren mereka. &quotNamanya dana taktis itu kan bukan dana APBN sebenarnya. Itu dana yang diperoleh dari pihak luar. Dan saya menerima dana itu tentu atas perintah pimpinan,&quot papar Hamdani usai diperiksa Tim Penyidik KPK, beberapa waktu silam.

Catatan Hamdani menyebutkan, cipratan dana gelap mengalir deras sepanjang Juni hingga Desember 2004. Hamdani menyebut untuk sembilan anggota KPU pada Juni 2004, dana taktis menggelontor senilai US$ 250 ribu. Itu artinya masing-masing anggota mendapat US$ 22 ribu lebih.

Pada Agustus 2004, Hamdani kembali membagi dana rekanan senilai US$ 300 ribu. Setiap anggota KPU kali ini mendapat jatah lebih dari US$ 27 ribu. Sebulan kemudian kembali Hamdani membuka lumbung dan mengambil dana sebesar US$ 130 ribu. Kembali sembilan anggota KPU masing-masing menerima hampir US$ 12 ribu. Total jenderal, tiap anggota menerima US$ 150 ribu atau setara lebih dari Rp 1 miliar. &quotMemang benar telah terjadi penerimaan sejumlah uang dari rekanan-rekanan. Jumlah uang yang pernah diterima [KPU] itu kurang lebih sampai Rp 20 miliar,&quot jelas Tumpak.

Cerita Hamdani ini sontak membuat kalangan anggota KPU belingsatan. Kamis pekan silam, Nazaruddin sampai harus membuat pernyataan tertulis menjelang diperiksa KPK. Dalam penjelasan sebelum dia ditetapkan sebagai tersangka, pria kelahiran Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam, 61 tahun silam itu membantah segala tuduhan Hamdani dan pejabat KPU lainnya. &quotSaya kan juga bisa ngomong seperti itu kan? Biarkan proses peradilan jalan,&quot kilah Nazaruddin.

Sejak nama-nama anggota KPU tersiar di media cetak dan elektronik sebagai penerima dana gelap, beberapa anggota yang tadinya mudah diwawancarai, seperti Chusnul Mar`iyah mulai pelit memberikan komentar. Yang menarik, anggota KPU Anas Urbaningrum dan bekas anggota Hamid Awaluddin yang kini menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengaku pernah menerima dana di luar gaji, berupa honor-honor kelompok kerja (pokja). &quotKPU itu banyak menerima honorarium dari biro-biro keuangan. Antara lain honor pokja-pokja. Itu diterima memang,&quot jelas Hamid.

Kisah dana gelap KPU ini juga mencokot anggota Parlemen. Dari BAP Hamdani tersebutlah dua nama anggota DPR periode silam berinisial SR dan AG. Mereka masing-masing menerima uang Rp 40 juta. Nyanyian Hamdani tidak selesai sampai di sini. Masih melalui M. Dentjik, wakil kepala Biro Keuangan KPU, medio Juli 2004, dana gelap juga dibagikan ke seorang pejabat di Direktorat Jenderal Anggaran Depkeu. Jumlahnya sebesar US$ 79 ribu.

Pada bulan yang sama, Juli 2004, mantan Sekretaris Jenderal KPU Safder Yusaac mengambil dana siluman sebesar US$ 120 ribu yang menjadi &quotjatah&quot auditor BPK. Sebulan sebelumnya, masih kepada auditor BPK, Yusaac sudah menyetor sebesar US$ 20 ribu. Ibarat air, dana gelap KPU itu mengalir ke mana-mana.

Selain dana &quotharam&quot, penyediaan logistik oleh KPU juga sarat masalah. BPK mencatat, setidaknya negara merugi sekitar Rp 90 miliar untuk lima proyek logistik pemilu. Angka yang lebih dari cukup untuk memberi beasiswa bagi 45 ribuan mahasiswa selama setahun. Ambil contoh pengadaan teknologi informasi (TI) KPU yang nilai proyeknya mencapai lebih dari Rp 150 miliar.

Menurut mantan Ketua Tim Ahli TI Toemin A. Masoem, indikasi penyimpangan bisa terjadi dari perangkat komputer. &quotKita beli mobil mewah. Udah gitu maunya bahan bakarnya pake minyak tanah saja, sopirnya sopir tembak saja. Jalannya, ya, kira-kira begitu,&quot Toemin mengibaratkan.

Bukan soal ketidakberesan dalam pengadaan perangkat komputer KPU saja, Toemin yang juga Guru Besar Ilmu Komputer Universitas Indonesia itu bahkan melihat aroma tak sedap sejak awal. Rupanya kecurigaan itu terbukti. Setelah pemenang tender diputuskan, KPU mengajak perusahaan pemenang jalan-jalan ke Singapura. Tentu atas biaya rekanan. Dalam hal ini PT Integrasi. Alasannya masuk akal. Meninjau pabrik komputer secara langsung. Tapi bagi Toemin, cara seperti itu jelas bisa mengurangi objektivitas mengingat barang yang dikirim tak sesuai standar. &quotMakanya saya lebih baik mengundurkan diri,&quot jelas Toemin.

Andi Hidayat, direktur pemenang tender pengadaan komputer KPU melalui telepon membenarkan kepergian mereka bersama sejumlah anggota KPU ke Singapura. Andi menegaskan, kepergian mereka bukan untuk plesiran melainkan memastikan barang yang hendak dibeli KPU. &quotMereka pingin memastikan bahwa kita siap mengirim komputer,&quot jelas Andi.

Nazaruddin dalam berbagai kesempatan meyakinkan publik bahwa semua proses pengadaan logistik KPU sudah sesuai prosedur. Namun soal teknis pengadaan barang menjadi tanggung jawab Sekjen KPU. Ketua dan anggota KPU hanya mengurus kebijakan umum saja. &quotPengadaan barang tuh kan dilakukan oleh panitia. Kemudian Sekretariat Jenderal melaksanakan,&quot tutur dia. Prosedur pula yang kini membawa Nazaruddin dan para tersangka korupsi lain di KPU ke tahanan.(DEN/Tim Sigi)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.